Jumat, 05 April 2013

Hukum Perikatan



Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, hukum Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.    Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming)
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·      Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·      Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Apabila seseorang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seseorang dapat berupa empat macam :
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.    Melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sanksi yang dapat dikenakan terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi ada empat macam, yaitu:
1.    Membayar kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2.    Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3.    Peralihan resiko;
4.    Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Dalam KUH Perdata (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1.        Pembayaran.
2.        Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3.        Pembaharuan utang (novasi).
4.        Perjumpaan utang atau kompensasi.
5.        Percampuran utang (konfusio).
6.        Pembebasan utang.
7.        Musnahnya barang terutang.
8.        Batal/ pembatalan.
9.        Berlakunya suatu syarat batal. 
10.  Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar