Rabu, 17 April 2013

HUKUM PERJANJIAN



Perjanjian adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, yang biasanya secara tertulis.  Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis).  Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena kontrak yang mereka buat telah menjadi sumber hukum formal, asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.
Standar kontrak adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, yang umumnya sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu sehingga ketika kontrak ditandatangani umumnya para pihak hanya tinggal mengisi data-data informatif tertentu dengan sedikit atau tanpa ada perubahan dalam klausul-klausulnya. Contoh kontrak standar yaitu polis asuransi, kontrak sewa-menyewa, kontrak sewa guna usaha, dan lain-lain.
Perjanjian dalam pasal 1319 KUHPdt dibedakan menjadi dua macam yaitu Perjanjian Bernama (Nominaat) dan Tidak Bernama (Innominaat).
Kontrak Nominaat adalah kontrak-kontrak atau perjanjian yang sudah dikenal dalam KUHPdt. Dalam KUHPdt ada lima belas jenis kontrak nominaat yaitu:
·      jual beli
·      tukar menukar
·      sewa menyewa
·      perjanjian melakukan pekerjaan
·      persekutuan perdata
·      badan hukum
·      hibah
·      penitipan barang
·      pinjam pakai
·      pinjam meminjam (pinjam pakai habis)
·      pemberian kuasa
·      bunga tetap atau abadi
·      perjanjian untung-untungan
·      penanggungan utang
·      perjanjian damai (dading)
Kontrak Innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini belum dikenal pada saat KUHPdt diundangkan.  Hukum kontrak innominaat (spesialis) merupakan bagian dari hukum kontrak (generalis).  Beberapa jenis kontrak innominaat yaitu:
·      perjanjian sewa beli
·      perjanjian sewa guna (leasing)
·      perjanjian anjak piutang (factoring)
·      modal ventura (joint venture).
Syarat-syarat syahnya suatu perjanjian (berdasarkan pasal 1320 KUHPdt) adalah sebagai berikut:
·      Syarat Subyektif :
    - Sepakat untuk mengikatkan dirinya;
    - Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
·      Syarat Obyektif  :
     - Mengenai suatu hal tertentu;
     - Suatu sebab yang halal.
Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.
Pada suatu perjanjian akan terjadi kemungkinan tidak terlaksananya atau pembatalan perjanjian dikarenakan kesalahan atau kelalaian para pihak atau salah satu pihak. Hapusnya perjanjian antara lain dikarenakan:
·      Pembayaran
·      Penawaran pembayaran
·      Pembaharuan utang / novatie
·      Perjumpaan utang / kompensasi
·      Percampuran utang
·      Musnahnya objek
·      Pembebasan utang
·      Batal demi hokum atau dibatalkan
·      Berlakunya syarat batal
·      Daluarsa yang membebaskan

Jumat, 05 April 2013

Hukum Perikatan



Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, hukum Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.    Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming)
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·      Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·      Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Apabila seseorang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seseorang dapat berupa empat macam :
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.    Melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sanksi yang dapat dikenakan terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi ada empat macam, yaitu:
1.    Membayar kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2.    Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3.    Peralihan resiko;
4.    Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Dalam KUH Perdata (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1.        Pembayaran.
2.        Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3.        Pembaharuan utang (novasi).
4.        Perjumpaan utang atau kompensasi.
5.        Percampuran utang (konfusio).
6.        Pembebasan utang.
7.        Musnahnya barang terutang.
8.        Batal/ pembatalan.
9.        Berlakunya suatu syarat batal. 
10.  Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Hukum Perdata



            Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU Kepailitan.
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848. Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
·      BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
·      WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu :
·      Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga.
·      Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan.
·      Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian.
·      Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.